Abdullah
bin Mubarak, termasuk salah seorang ulama salaf (masa-masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW dan berakhirnya Khulafaur Rasyidin, yang masih
mengikuti jalan dan teladan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau),
ketika selesai menjalankan ibadah haji, ia sempat tertidur di Baitullah
tidak jauh dari Ka’bah. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan dimana
dua malaikat turun dari langit menuju area thawaf. Salah seorang dari
mereka berkata, “Berapa orang yang berhaji tahun ini?”
Malaikat satunya berkata, “Enamratus ribu orang!!”
“Berapakah yang diterima hajinya?”
“Tidak seorangpun!!”
“Tidak seorangpun??” Tanya malaikat yang pertama, seakan tidak percaya.
Malaikat
kedua berkata lagi, “Tetapi seorang tukang sol sepatu/sandal di
Damaskus bernama Muwafiq yang tidak jadi berhaji, justru diterima
hajinya oleh Allah. Dan berkah dari diterimanya hajinya Muwafiq ini,
diterimalah semua ibadah haji pada tahun ini!!”
Abdullah
bin Mubarak segera terbangun, dan terheran-heran dengan mimpi yang
dialaminya. Benarkah seperti itu keadaannya? Tidak ada pilihan lain,
kecuali membuktikan adanya seorang tukang sol sepatu/sepatu yang bernama
Muwafiq tersebut. Dari Makkatul Mukarramah, Ibnu Mubarak tidak langsung
pulang, tetapi memacu tunggangannya menuju Damaskus di Syam (Syiria).
Setibanya di sana,
ia mencari tahu tentang Muwafiq tersebut, dan ternyata tidak terlalu
kesulitan. Profesinya sebagai tukang sol sepatu/sandal selama puluhan
tahun membuatnya ia banyak dikenal oleh orang-orang di Damaskus. Setelah
ditunjukkan rumahnya dan bertemu dengan Muwafiq, Ibnul Mubarak tidak
melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya, hanya seorang lelaki
sederhana, bahkan cenderung miskin, tetapi tampak jelas ketulusan dan
keikhlasan pada sinar wajahnya.
Setelah
dipersilahkan duduk dan memperkenal diri, Ibnul Mubarak berkata,
“Kebaikan apakah yang engkau kerjakan sehingga engkau memperoleh derajad
yang tinggi di sisi Allah?”
Muwafiq tampak tidak mengerti dengan pertanyaannya tersebut, dan berkata, “Ada apakah gerangan? Tiba-tiba engkau menemuiku dan bertanya seperti itu?”
Kemudian
Abdullah bin Mubarak menceritakan kalau ia baru saja selesai berhaji
dan mengalami mimpi seperti yang dialaminya tersebut, yang kemudian
membawa langkahnya untuk menemuinya. Mata Muwafiq tampak berkaca-kaca
penuh haru, dan ia hanya bisa mengucap hamdalah sebagai ungkapan rasa
syukurnya. Tanpa disadarinya, menitik air matanya karena begitu
bahagianya.
Setelah
Muwafiq mulai bisa menguasai emosinya kembali, ia bercerita kalau sejak
lama ia sangat ingin berhaji. Tetapi karena keadaannya miskin, ia harus
menabung dan menyisihkan penghasilannya selama bertahun-tahun. Tahun
ini ia telah mengumpulkan tigaratus dirham, cukup untuk perjalanan
hajinya dan bekal kehidupan keluarga yang ditinggalkannya.
Suatu
ketika, istrinya yang sedang hamil, mencium bau masakan dari rumah
tetangganya. Layaknya seorang hamil muda yang ngidam, ia sangat ingin
merasakan masakan tetangganya tersebut. Muwafiq telah membujuknya untuk
membuatkan atau membelikan masakan yang sama, tetapi istrinya tetap
menolak, kecuali masakan tetangganya itu. Dengan berat hati Muwafiq
mendatangi rumah tetangganya tersebut, yang ternyata adalah seorang
janda dan anak-anak yatimnya. Begitu dibukakan pintu, Muwafiq berkata,
“Wahai ibu, istriku sedang hamil, dan ia membaui masakan engkau dan
ingin merasakannya. Bolehkan aku meminta sedikit saja untuk memenuhi
keinginannya?”
Tampak
kesedihan di mata wanita itu, bahkan hampir menangis, ia berkata,
“Wahai Muwafiq, makanan itu halal bagiku tetapi haram bagi engkau!!”
“Mengapa demikian?” Tanya Muwafiq terheran-heran.
Kemudian
wanita janda itu menceritakan kalau dia dan anak-anak yatimnya sedang
kelaparan. Telah tiga hari lamanya tidak ada makanan apapun yang masuk
ke perut mereka kecuali air. Pagi hari itu ia keluar, dan ketika
berjalan berkeliling ia melihat seekor keledai yang telah mati. Ia
memotong sebagian daging bangkai keledai tersebut dan membawanya pulang,
kemudian memasaknya. Bau masakan itulah yang sempat masuk ke rumah
Muwafiq, dan membuat istrinya sangat menginginkannya.
Mendengar
ceritanya itu, Muwafiq segera pulang dan mengambil simpanan tigaratus
dirham yang telah dikumpulkannya selama bertahun-tahun, dan
memberikannya kepada janda tersebut. Ia berkata, “Nafkahilah anak-anak
yatimmu itu dengan uang ini!!”
Setelah itu ia beranjak pulang, dan ia berkata di dalam hati, “Sesungguhnya haji berada di pintu rumahku!!”
Abdullah
bin Mubarak terkagum-kagum dengan cerita Muwafiq tersebut dan berkata,
“Shadaqahmu kepada tetangga dan anak yatimnya itulah yang membuat hajimu
diterima, dan memberkahi haji kami semua tahun ini, sehingga diterima
juga di sisi Allah!!”
0 Response to "Menyantuni Tetangga dan Anak Yatimnya "
Post a Comment