Khutbah Idul Adha
Perbaikan Diri Menuju Kejayaan Umat
Allaahu Akbar 3 x
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumuLlaah…
Pujian hanya layak bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa yang hingga saat ini masih begitu banyak memberikan nikmat-Nya kepada kita. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang bersyukur, sebagaimana teguran Allah kepada kita berikut ‘…Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih’ (QS Saba: 13). Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada teladan manusia Rasulullah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassalaam yang menjawab ‘tidak bolehkah aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur’ ketika ditanya Ibunda ‘Aisyah radliyaLlaahu ‘anhaa ‘mengapa engkau berlama-lama shalat hingga bengkak kakimu, ya Rasul’. Juga kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, dengan terus berharap semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa memasukkan kita sebagai bagian dari barisan panjang penuh barakah itu.
Dua bulan yang lalu, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa memberi kesempatan pada kita melalui bulan Ramadhan untuk meraih kedudukan yang paling tinggi di sisi-Nya, yaitu taqwa. ‘Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa’ (QS Al Baqarah: 183) padahal, ‘…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’ (QS Al Hujuraat: 13). Menyadari kedudukan paling mulia itulah, kita seharusnya bertekad untuk mempertahankan nilai-nilai taqwa yang telah kita tanam kuat-kuat selama Ramadhan kemarin. Alhamdulillah, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa kembali memberi sarana bagi kita untuk mempertahankan nilai-nilai taqwa tersebut melalui ibadah di bulan Dzulhijjah ini. Simaklah bagaimana Rasulullah memotivasi kita, ‘Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT selain hari-hari ini maksudnya –sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah–”. Mereka berkata: ”Wahai Rasulullah SAW, walaupun jihad fii sabiiliLlaah?” Rasulullah SAW menjawab: ”Walaupun jihad fii sabiiliLlaah kecuali seorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (untuk jihad) dan tidak membawa pulang dari itu semua” (HR Al Bukhari). Di antara berbagai amal shalih yang dapat dilakukan adalah berkurban. Secara bahasa qurban bermakna dekat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa, sedangkan secara istilah qurban bermakna menyembelih hewan berupa sapi, kambing, kerbau, atau unta dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat yang dilaksanakan pada 10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah.
Kedekatan dengan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa itulah esensi dari taqwa, baik berupa keyakinan bahwa dirinya selalu berkesempatan mendapat ta’yid (dukungan) dari Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa jika dia memberi dukungan pada-Nya atau berupa kesadaran bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa senantiasa dekat dan Maha Mengawasi semua aktivitasnya (muraqabatuLlaah). Dalam bahasa yang lain Rasulullah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassalaam mengungkapkan taqwa sesuai esensinya dengan istilah ihsan. Dalam hadits Jibril (karena Rasulullah berdialog dengan Jibril ‘alaihis salaam untuk memberi pelajaran kepada para sahabat radliyaLlaahu ‘anhum tentang nilai Iman, Islam, dan Ihsan), “…lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” Beliau SAW menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”(HR Bukhari dan Muslim).
Allaahu Akbar 3 x
Jamaah shalat Idul Adha hafazhakumuLlaah…
Dalam berbagai ayat, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa senantiasa menegaskan ke-Maha Pengawas-an Nya, ke-Maha Tahuan-Nya, atau ke-Maha Telitian-Nya yang dirangkaikan dengan perintah taqwa. Perhatikan ayat berikut ‘Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu’ (QS Al Baqarah: 231). Atau perhatikan ‘Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu’ (QS An Nisaa: 1). Di ayat yang lain, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman, ‘Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu)’ (QS Al Maa’idah: 7) juga di ayat selanjutnya, ‘Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ (QS Al Maa’idah: 8). Kemudian Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa menegaskan Ke-Maha Tahu-an-Nya dan Ke-Maha Mendengar-Nya melalui ayat berikut, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’ (QS Al Hujuraat: 1). Memerhatikan ayat-ayat di atas, kita semakin mendapat kesadaran dan keyakinan untuk senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan, tingkah, dan laku kita. Salah satu bentuk kehati-hatian seorang muslim adalah sifat malu. Bukan malu ketika tidak dapat menghadiri resepsi pernikahan dengan baju mahal. Juga bukan malu karena belum mempunyai mobil atau kendaraan yang mewah. Bukan pula malu karena mempunyai saudara yang kurang beruntung secara ekonomi sampai-sampai kita tidak mau mengakuinya sebagai saudara.
Allaahu Akbar 3 x
Jamaah yang senantiasa mengharap ampunan-Nya…
Malu yang dikatakan Nabi ShallaLlaahu ‘alaihi Wassalaam dalam sebuah haditsnya, ‘Malu adalah cabang dari iman’, bermakna malu untuk berucap atau melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa dan Rasul-Nya. Dari hadits di atas dan pemahaman yang benar terhadapnya, saya yakin kita akan sepakat betapa pentingnya menghidupkan sifat malu tersebut di tengah kehidupan masyarakat. Masyarakat yang menjunjung tinggi sifat malu, insya Allah akan terpelihara dari penyimpangan-penyimpangan. Bahkan kita dapat mengatakan ‘keimanan seseorang dapat dipertanyakan jika sifat malu tidak ada dalam dirinya’. Dengan tegas Rasulullah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassalaam bersabda, ‘Sesungguhnya malu dan iman dua hal yang digandeng, tak dapat dipisah. Bila salah satu diambil, yang lain akan ikut terambil’ (HR Hakim dan Baihaqi).
Dalam kehidupan, paling tidak ada tiga sifat malu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pertama, malu pada diri sendiri, yakni malu pada martabat pribadi dengan segala kedudukan, gelar, atau sebutan yang kita sandang, sebagai apapun kita. Jika kita menyandang sebutan muslim (alhamduliLlaah), itu berarti kita seharusnya menjadi orang yang tunduk dan patuh pada Allah Subhaanahu wa Ta’alaa dengan semua ketentuan-Nya. Dan kita seharusnya sangat malu jika tidak tunduk pada ketentuan-Nya. Saat kita mendapat ‘gelar’ suami, tentu seharusnya kita malu manakala tidak bersungguh-sungguh dalam memberi nafkah pada keluarga atau kita sangat malu jika berhubungan ‘terlalu jauh’ dengan wanita lain yang bukan isteri kita.
Ketika kita mendapat sebutan bapak, seharusnya kita punya perasaan malu bila tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Demikian juga saat masyarakat ‘mengangkat’ kita dengan gelar pejabat publik atau pemimpin, maka kita seharusnya mempunyai rasa malu jika tidak dapat memberi layanan kepada masyarakat yang dipimpinnya. Atau kita akan sangat malu jika amanah kepemimpinan yang telah dibebankan oleh masyarakat pada kita kemudian kita khianati, karena Islam mengajarkan kepada kita ‘sayyidul qaumi khaadimuhum (pemimpin kaum adalah pelayan mereka)’. Dengan kata lain, jika kita masih mempunyai rasa malu terhadap diri sendiri, maka kita akan selalu menjaga nama baik atau citra diri sehingga tidak berani untuk melakukan penyimpangan yang akan menghancurkan dirinya, walau tidak ada saksi terhadap perbuatan kita. Hal ini karena kita meyakini firman Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa ‘Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan’ (QS Yaasiin: 65).
Ke dua, malu pada orang lain, maksudnya rasa malu jika perbuatan dan ucapan kita yang menyimpang diketahui orang lain. Sehingga kita akan berusaha tidak melakukan perbuatan menyimpang yang akan diketahui orang lain, bukan sebaliknya tetap melakukan tetapi berusaha menutup-nutupi atau menyembunyikan berbagai penyimpangan dengan kebohongan atau penyimpangan lainnya sehingga ‘tiada satupun’ orang lain yang melihatnya. Jika hal ini tetap dilakukan, akan menimbulkan dua bahaya, pertama jiwanya akan selalu gelisah karena RasuluLlah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassalaam bersabda ‘Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan hati seseroang, ia tidak suka jika hal itu diketahui orang lain’ (HR Ahmad). Bahaya ke dua adalah jika ia tetap melakukan dan orang lain mengetahuinya, maka ia akan berupaya ‘menyingkirkan’ orang lain yang melihat perbuatan menyimpang tersebut. Sehingga satu dosa akan berkembang menjadi dosa-dosa berikutnya. Na’uudzu biLlaah min dzaalik…
Jamaah yang selalu mengharap kasih sayang-Nya…
Ke tiga adalah malu kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa, yaitu malu karena kita sudah dengan rela dan tanpa paksaan mengakui Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa sebagai ilaah (Tuhan sembahan) kita, tetapi masih berani melanggar ketentuan-Nya, seolah-olah meniadakan Ke-Maha Tahu-an Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa padahal Dia Maha Tahu dan Maha Teliti. SubhaanaLlaah… Perhatikan firman-Nya, ‘Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi’ (QS Fushshilat: 22 – 23).
Rasulullah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassalaam bersabda, ‘Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar malu’ (HR Tirmidzi). Juga dalam hadits lain, beliau bersabda ‘sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu’ (HR Bukhari).
Allaahu Akbar 3 x
Jamaah yang senantiasa mengharap bimbingan dari-Nya…
Untuk selalu mempunyai rasa malu, kita harus selalu berupaya meyakini ke-Maha Pengawas-an Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa dan berupaya memiliki sifat istiqamah atau pendirian yang kuat. Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman, ‘Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ (QS Huud: 112). Dalam bahasa lain, Rasulullah ShallaLlaahu ‘Alaihi Wassaalaam bersabda, ‘janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan kalau orang lain melakukan kebaikan, kamipun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zhalim, kamipun akan berbuat zhalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan, kami tidak akan melakukannya’ (HR Tirmidzi).
Semoga kita senantiasa dapat menghidupkan rasa malu dalam diri kita, keluarga, dan masyarakat. Kemudian mengokohkannya dengan bekerja dan berkorban, karena bekerja itu seperti menanam pohon dan berkorban itu adalah pupuk yang mempercepat pertumbuhannya. Kita mengenang Nabi Ibrahim hari ini karena ia hanya bekerja menabur kebajikan di ladang hati manusia. Tanpa henti. Kita mengenang Nabi Ibrahim hari ini karena pengorbanannya yang tidak terbatas. Makna hidup kita – baik sebagai individu maupun sebagai umat dan bangsa – terletak pada kerja keras dan pengorbanan tanpa henti dalam menebar kebajikan bagi kemanusiaan. Bekerja adalah simbol keberdayaan dan kekuatan. Berkorban adalah simbol cinta dan kejujuran. Itu nilai yang menjelaskan mengapa bangsa-bangsa bisa bangkit dan para pemimpin bisa memimpin. Hanya mereka yang mau bekerja dan terus menerus berkorban dengan cinta, yang akan bangkit dan memimpin. Itulah jalan kebangkitan. Itulah jalan kepemimpinan. Itu nilai yang menjelaskan mengapa Islam – di masa lalu – bangkit dan memimpin peradaban manusia selama lebih dari 1000 tahun. Dan itu jugalah jalan kebangkitan kita kembali: bekerja keras dan berkorban tanpa henti. Dengarlah firman Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa ‘Dan katakanlah (hai Muhammad), bekerjalah kalian, nanti Allah yang akan menyaksikan amal kalian, beserta Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman’ (QS At Taubah: 105).
Allaahu Akbar 3 x
Hari ini – sebagaimana kita mengenang manusia-manusia agung itu; Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad saw – kita juga mendengar rintihan hati umat manusia dari berbagai pelosok dunia. Di belahan dunia Islam ada rintihan anak-anak Palestina, Somalia, Irak, Afghanistan, Sudan, Khashmir dan Chechnya yang membutuhkan solidaritas dan bantuan kita untuk membebaskan mereka dari kezhaliman dan penjajahan. Sementara di belahan dunia lainnya, ada milyaran jiwa manusia yang hidup dalam kehampaan dan juga menanti para pembawa cahaya kebenaran untuk menyelamatkan dan mengeluarkan mereka dari himpitan hidup yang pengap ke dalam rengkuhan cahaya Islam yang penuh rahmat. Tangis hati para korban kezhaliman di dunia Islam dan rintihan jiwa para pencari kebenaran di dunia Barat sama-sama menantikan kehadiran kepemimpinan baru yang datang membawa cahaya kebenaran, cinta bagi kemanusiaan, tekad untuk bekerja keras serta kemurahan hati untuk terus berkorban.
Marilah kita bangkit membebaskan diri kita dari keserakahan dan kebakhilan, kesedihan dan ketakutan, kelemahan dan ketidakberdayaan, egoisme dan perpecahan. Marilah kita bangkit dengan semangat kerja keras dan pengorbanan tanpa henti, melupakan masalah-masalah kecil dan memikirkan serta merebut peluang-peluang besar bagi kejayaan umat dan bangsa kita. Marilah kita bangkit dengan kepercayaan penuh bahwa Islam adalah masa depan manusia dan bahwa masa depan adalah milik Islam. Marilah kita bangkit dengan semangat dan keyakinan penuh bahwa kita bisa memimpin umat manusia kembali jika kita mau bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar kita.
Akhirnya marilah kita tutup shalat dan khutbah Id kita hari ini dengan berdoa:
Ya
Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi
pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik
pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah
sebaik-baik pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah
sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau
adalah sebaik-baik pemberi rezki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami
dari kaum yang zhalim dan kafir.
Ya
Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng
bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat
hidup kami. Perbaikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami.
Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap
kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari
segala kejahatan.
Ya
Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi
antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan
kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula
keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia
ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran,
penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia
warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam
urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami
terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami
orang-orang yang tidak mengasihi kami.
Ya
Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan
mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat, dan Mengabulkan doa.
Ya
Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia,
kehidupan yang baik di akhirat, dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
0 Response to "KHUTBAH IDUL ADHA "Perbaikan Diri Menuju Kejayaan Umat""
Post a Comment