Berperan Membagikan Rezeki Allah
Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan
ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan,
sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq al- Balkhi. Ia berasal dari
keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan
menjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau
810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan dunia,
hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi
seorang sufi yang zuhud.
Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam..
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakan ataupun menguntungkan!!”
Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukkan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, “Jika yang engkau ucapkan itu memang benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??”
Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah ‘menonjok’ aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataannya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
Tidak hanya satu itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, “Apa yang engkau lakukan ini? Tidakkah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!”
Tetapi dengan santainya budak itu berkata, “Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!”
Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, “Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang ‘tuan’-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??”
Suatu ketika ia beribadah haji ke Makkah dan di sana ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, “Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??”
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, “Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini….??”
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, “Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku di manapun aku berada!!”
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu…!!”
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, “Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan di antara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajad dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajad orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)….!!”
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan ‘tajrid’, yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajad tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajad tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!”
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajad dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa’ad dan banyak lagi sahabat lainnya.
Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam..
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakan ataupun menguntungkan!!”
Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukkan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, “Jika yang engkau ucapkan itu memang benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??”
Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah ‘menonjok’ aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataannya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
Tidak hanya satu itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, “Apa yang engkau lakukan ini? Tidakkah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!”
Tetapi dengan santainya budak itu berkata, “Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!”
Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, “Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang ‘tuan’-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??”
Suatu ketika ia beribadah haji ke Makkah dan di sana ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, “Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??”
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, “Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini….??”
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, “Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku di manapun aku berada!!”
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu…!!”
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, “Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan di antara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajad dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajad orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)….!!”
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan ‘tajrid’, yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajad tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajad tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!”
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajad dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa’ad dan banyak lagi sahabat lainnya.
0 Response to "Berperan Membagikan Rezeki Allah"
Post a Comment