Junaid bin Muhammad al Baghdadi, atau lebih dikenal
sebagai Junaid al Baghdadi adalah seorang ulama sufi yang dianggap
sebagai para penghulu kaum auliya di jamannya, yakni pada abad ke 2
hijriah atau abad 9 masehi. Sejak masih kecil ia telah mendalami dan
mempraktekkan kehidupan sufi di bawah bimbingan guru, yang juga pamannya
sendiri, Sariy as Saqthi.
Suatu malam menjelang subuh, ketika tidur di rumah
paman dan gurunya tersebut, Sariy as Saqthi membangunkannya dan berkata,
“Wahai Junaid, bangunlah karena engkau akan memperoleh pelajaran sangat
berharga malam ini…!!”
Kemudian Sariy as Saqthi menceritakan kalau ia
bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, dan berkata kepadanya,
“Wahai Sariy, ketika Aku menjadikan mahluk, maka mereka semua mengaku
cinta kepada-Ku. Tetapi ketika Aku menciptakan dunia, maka larilah dari
Aku sembilan dari sepuluh (90%-nya) kepada dunia, tinggallah satu dari
sepuluh (10%-nya) saja yang tetap mengaku cinta kepada Aku…..!!”
Sariy melanjutkan ceritanya kepada Junaid, bahwa Allah
menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal
sepuluh persennya. Kemudian Allah menciptakan surga, maka larilah
sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk mengejar kenikmatan surga, tinggal
satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seratus dari seluruh mahluk)
yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah, tidak tergiur
surga dan kenikmatannya.
Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang
mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya
(seper-seratus dari seluruh mahluk). Kemudian Allah menciptakan neraka,
maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari pedihnya
siksa neraka, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seribu dari
seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai
Allah. Tidak takut akan neraka dan kepedihan siksaan di dalamnya, tetapi
hanya takut kepada Allah, yang dilandasi rasa cinta.
Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang
mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya
(seper-seribu dari seluruh mahluk). Kemudian Allah menciptakan atau
menurunkan bala atau musibah, maka larilah sembilan dari sepuluh
(90%-nya) untuk menghindari atau sibuk menghadapi musibah tersebut,
tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-sepuluhribu dari seluruh
mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak
mau disibukkan dengan bala tersebut, dan menerimanya dengan tawakal yang
dilandasi rasa cinta kepada Allah.
Maka Allah menghadapkan diri-Nya pada mereka yang
tetap mengaku mencintai-Nya, yang tinggal seper-sepuluh ribu dari
seluruh mahluk, dan berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian ini tidak
tergiur dengan dunia, tidak terpikat dengan kenikmatan surga, tidak
takut dengan siksaan neraka, dan tidak juga lari dari kepedihan bala
musibah, apakah sebenarnya yang kalian inginkan??”
Tentu saja sebenarnya Allah telah mengetahui jawaban
atau keinginan mereka, dan mereka itu memang hamba-hamba Allah yang
ma’rifat (sangat mengenal) kepada-Nya. Maka mereka berkata, “Ya Allah,
Engkau sangat mengetahui apa yang tersimpan pada hati kami!!”
Allah berfirman lagi, “Kalau memang demikian, maka Aku
akan menuangkan bala ujian kepada kalian, yang bukit yang sangat
besar-pun tidak akan mampu menanggungnya, apakah kalian akan sabar??”
Mereka yang memang hanya mencintai Allah itu berkata,
“Ya Allah, apabila memang Engkau yang menguji, maka terserah kepada
Engkau….!!”
Di akhir mimpinya itu, Allah berkata, “Wahai Sariy, mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya!!”
0 Response to "Kecintaan Hamba Allah yang Sebenarnya"
Post a Comment